haryanti

haryanti

Senin, 24 November 2014

Suhrawardi dan Ajarannya



BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Beakang 
Berbicara tentang tasawuf dan para sufi, tentunya tidak lengkap tanpa membahas sufi yang satu ini, yaitu Shihabuddin Suhrawardi, yang terkenal dengan pemikirannya tentang hikmah isyraqiyah.
Dalam bidang filsafat Islam sering disebut dengan teori iluminasi (pancaran). Suhrawardi berusaha mensintesiskan pendekatan burhani dan irfani dalam pemikiranya yang kemudian melahirkan tasawuf falsafi atau teosofi. Dasar dari teori ini adalah bahwa Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari cahaya Allah itulah muncul cahaya-cahaya yang lain, berupa alam yang maddi, alam ruhi dan akal-akal yang kemudian terbagi-bagi semuanya itu tidak lain, hanyalah kesatuan dari cahaya-cahaya yang menggerakkan alam semesta ini. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam konsep yang telah mempengaruhi para tokohnya.
           Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini terus  hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai era modern. Corak tasawuf falsafi tentunya berbeda dengan tasawuf yang pernah diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in, karena tasawuf ini, banyak di pengaruhi oleh ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani, Hindu, Budha. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf  tidak hilang. Karena para tokohnya mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan Islam yang mempuni. Ajaran pokok tasawuf falsafi meluputi: fana’ dan baqa’, ittihad (menyatunya manusia dengan Tuhan), hulul (menyatunya sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan), wahdatul wujud (Allah dan Alam adalah sesuatu yang satu), Isyraq (pancaran cahaya Tuhan atau iluminasi).

BAB II
PEMBAHASAN
SUHRAWARDI AL-MAQTUL
A.    Riwayat Hidup Suhrawardi al-Maqtul
Syihabuddin as-Suhrawardi dilahirkan di Suhraward, Iran, tahun 549 H/1155 M dan wafat di Aleppo, Suriah, pada tahun 587 H/1191 M. suhrawardi sering disebut sebagai tokoh sufi dari kalangan Syiah yang diberi gelar Syaikh al-Isyraq (Guru Pencerahan) karena pendapatnya tentang filsafat Isyraqiyah.
Gelar al-Maqtul (yang terbunuh) diperolehnya karena pada saat itu Suhrawardi bersama Qaramithah dan Hasyasyin secara politik dituduh telah merongrong kekuasaan Sultan Shalahuddin al-Ayubi. Ketika itu sultan adalah penganut dan pembela paham sunni di seluruh wilayah kekuasaannya. Akhirnya atas desakan para Fuqaha, Suhrawardi dipenjara di Aleppo dan dijatuhi hukuman mati.[1]
B.     Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Suhrawardi
Melihat pada tahun hidupnya, peradaban islam pada masa Suhrawardi berada pada fase kematangan. Kondisi ini merupakan akumulasi dari sejarah panjang peradaban islam. Diawali dengan penerjemahan berbagai karya ilmiahklasik ke dalam bahasa Arab peradaban islam terus berkembang. Kegiatan penerjemahan ini pada gilirannya mendorong lahirnya para intelektual Muslim dengan berbagai karya monumental mereka sebagai indicator yang paling real bagi masa keemasan islam mulai pada abad X hingga mencapai puncaknya pada abad XII.
Secara garis besar, wacana pemikiran islam pada masa ini pemiliki tiga alur utama, pertama, falsafi yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd. Kedua, mistis (tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, dan al-Gazali di antara pionir-pionirnya. Ketiga, gabungan dari dua aliran itu melahirkan aliran yang disebut dengan teosofi. Corak pemikiran teosofi ini selain bertumpu pada rasio, ia juga bertumpu pada rasa (dhawq) yang mengandung nilai mistis. Berdasarkan pembagian ini, agaknya pada aliran ketiga inilah Suhrawardi mengembangkan pemikiran-pemikirannya.
Sebagai orang yang mencoba menggabungkan dua aliran pemikiran yang sudah berkembang, pemikiran Suhrawardi tentu tidak terlepas dari pengaruh kedua aliran pemikiran itu. Dalam bidang filsafat, Suhrawardi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Zoroasterianosme, filsafat Yunani khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus, serta al-Farabi dan Ibn Sina dari kalangan filosof islam. Di samping itu, sebagai seorang sufi, Suhrawardi juga banyak terpengaruh oleh pemikiran pendahuluannya seperti Dhu al-Nun al-Misri , Abu Yazid al-Bustami, dan al-Gazali. Pemikiran Suhrawardi tumbuh dan berkembang sebagai wujud ketidakpuasannya terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.
C.     Karya-Karya Suhrawardi
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehinggah dalam usianya yang relative pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni. Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein Nars mengklasifikasikannya menjadi lima kategori sebagai berikut.
a.       Member interpretasi dan memodifikasikembali ajaran peripatetic. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab: At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat dan Hikmah al-;Ishraq.
b.      Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami: al-Lamahat, Hayakilal-Nur dan risalah fi al-‘Ishraq.
c.       Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambing yang sulit dipahami: Qissah al-Ghurbah al-Gharbiyyah, Al-‘Aql al-ahmar dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d.      Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik: Risalah al-Tair dan Risalahfial;’Ishq.
e.       Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H.[2] oleh karena itu, tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
D.    Pemikiran Teosofi Suhrawardi
Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shopia yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan. Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada trem lain yang mirip dengan teosifi, ysitu teologi. Kedua istilah ini mengacuh pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaan terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan pendekatan spekulatif intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta dan Tuhan.
Sementara teosofi lebih menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos. Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyah dan hikmah ‘amaliyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyah ialah tasawuf.[3]
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoretis melalui filsafat dengan penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.
E.     Konsep Teosofi Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah ishraqi sendiri sebagai symbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersama dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahaya kemasing-masing cahaya yang berada dibawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Memerhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam surat Al-Nur ayat 35 berikut ini: Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan binatang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh apa cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membingbing, walaupun tidak disentuh api cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.[4]
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancarkan dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.
F.      Ajaran Tarekat Suhrawardiyah
Sebagaimana ditegaskan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah terdapat pada kitab Awarif al-Ma’arif yang banyak membicarakan tentang latihan rohani praktis. Maka dapat dirangkum bahwa ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
1.      Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan memahami bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami wujud Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam pengabdian dan sujud dihadapan Allah.
Ma’rifah ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu :
a.       Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah);
b.       Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah;
c.       Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah;
d.      Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
2.      Faqr, yaitu tidak memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jika ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an. Seseorang yang menginginkan dunia, meski tak memiliki harta, makna Faqr hanyalah sekedar angan-angan belaka.
Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah.[5]
Dalam hal ini ada beberapa golongan Faqr, yaitu :
a.       Mereka yang memandang dunia dan harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta, mereka akan memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti;
b.      Mereka yang tidak memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber dari dirinya dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun;
c.       Mereka yang dengan kedua sifat ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka pandang sebagai anugeral Allah;
d.      Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
3.      Tawakkul, yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah), mempercayakan jaminan rezki kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah raja’ (harapan), sebab yang pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari kebenaran keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tawakkul ini terbagi kepada dua, pertama Tawakkul al-inayah, artinya tawakal dalam anugerah Allah, keduatawakkul al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan dan kehendak Allah, bukan tawakal dalam kecukupan.
4.      Mahabbah, artinya Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Ada dua jenis mahabbah :
1). Mahabbah ‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat:
a.       kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat;
b.      Sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan;
c.       Seberkas cahaya yang mengisi wujud;
d.      Sebuah tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang”;
e.       Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu;
f.       Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat.
2). Mahabbah Khas, memiliki sifat :
a.       Kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan zat;
b.      Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat;
c.       Api yang memurnikan wujud;
d.      Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”;
e.       Benar-benar sumber murni;
f.       Sejenis anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
5.      Fana’ dan Baqa’, Fana’ artinya akhir daei perjalanan menuju Allah, sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalan menuju Allah berakhir ketika dengan ketulusan. Perjalanan di dalam Allah bisa diuji ketika, sesudah fana’ mutlak.
Ada yang mengatakan fana’ berarti :
a.       Fana’ dalam berbagai perbedaan;
b.      Menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi;
c.       Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti;
d.      Menurunnya kadar sifat-sifat tercela;
e.       Tersembunyinya segala sesuatu.
Sementara Baqa’ berarti :
1)      Baqa’ dalam keselarasan;
2)      Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak;
3)      Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah;
4)      Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji;
5)      Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari serangkaian pembahasan yang tertuang dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa Suhrawardi merupakan filosof muda Islam yang sangat cerdas sehingga mampu membongkar pemikiran-pemikiran filosof peripatetik yang sudah mapan sebelumnya, sekaligus menawarkan sebuah pemikiran baru yang bercorak filosofis-mistis yang kemudian lebih popular dengan sebutan teosofi. Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang lahir sebagai akibat dari ketidak puasannya kepada pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya. Pemikiran teosofisnya ini kemudian berujung kepada pembangunan sebuah teori yang membahas proses penciptaan alam yang dikenal dengan teori iluminasi.
Meskipun mekanisme kerja teori ini dibangun dengan cara yang sama dengan teori sebelumnya (emanasi), yakni melalui pancaran atau limpahan, tetapi tetap ada hal mendasar yang membedakan kedua teori ini. Hal tersebut dapat terlihat pada instrumen yang digunakan dan keberlangsungan proses pancaran dari kedua teori tersebut. Teori emanasi menggunakal istilah akal sebagai instrument, sementara iluminasi menggunakan istilah cahaya, yang inspirasinya diambil dari Q.S. al-Nur ayat 35. Pada teori emanasi pancaran akal 1 hanya sampai pada pancaran akal ke -10, maka pada teori iluminasi pancarahan cahaya tidak terbatas. pemikiran falsafah Suhrawardi adalah pancaran cahaya (iluminasi, isyraqi). Alam semesta ini merupakan pancaran dari Cahaya Yang Utama (Tuhan), hanya saja setiap yang tercipta dapat dibedakan dari intensitas cahaya yang mereka terima. Semakin dekat sesuatu dengan cahaya yang menciptanya, maka semakin sempurnalah sesuatu itu, dan hal itu hanya dapat dipertemukan dengan cara dzauq yang hanya dipahami oleh orang-orang yang telah mengerti tasawuf.




[1] Ahmad Bangun Nasution dan rayani Hanum Siregar, akhlak tasawuf (pengenalan, pemahaman, dan pengaplikasiannya disertai biografi dan tokoh-tokoh sufi), Jakarta: rajawali pers, 2013, hlm. 226.
[2] Ahmad bangun nasution dan rayani harum siregar, hlm. 227.
[3] Ahmad bangun nasution dan rayani harun siregar, hlm. 228
[4] Ahman bangun nasution dan rayani hanum siregar, hlm. 231
[5] http://menuliscom.blogspot.com

Selasa, 22 April 2014

Tingkah Laku Tercela



Dra.Hj.Aisyah, M.Ag
TINGKAH LAKU TERCELAH


Oleh :
Nama    : HARYANTI
Nim       : 30500113007
                                      
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2014

KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah swt yang masih memberikan kesehatan dan kesempatannya kepada kita semua, terutama kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan suatu apapun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada guru / dosen pembimbing yang telah banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini. Berikut ini, penulis persembahkan sebuah makalah dengan topik :
“ TINGKAH LAKU TERCELA “
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna serta masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, saran serta kritik yang bersifat perbaikan dari para pembaca dan pengguna sangat kami harapkan. Hal itu akan menjadi pertimbangan dalam perbaikan makalah ini pada kesempatan – kesempatan mendatang.
            Akhirnya, penulis berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan andil dan manfaat bagi kita semua. Semoga Allah swt senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.




Makassar, April 2014



Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perilaku kehidupan manusia selalu terdapat dua sisi yang berlawanan, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk. Seseorang dikatakan melakukan perbuatan baik, apabila tindakan yang dilakukan sesuai dengan tata nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat dimana ia berada. Demikian sebaliknya, seseorang dikatakan melakukan perbuatan buruk apabila tindakannya tidak sesuai dengan nilai dan pandangan masyarakat yang bersangkutan. Pandangan tentang nilai yang terdapat dalam masyarakat beraneka ragam dan tata nilai tersebut menjadi norma atau patokan berperilaku bagi setiap individu atau kelompok. Patokan perilaku bagi setiap individu dalam masyarakat adalah berupa norma kesopanan, norma hukum, norma susila, dan norma agama.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat memegang teguh tata nilai agama, selalu mengukur perbuatan baik atau buruk dari aspek nilai agama yang dianutnya. Bagi masyarakat yang beragama Islam mungkin akan selalu mengukur suatu perbuatan berdasarkan nilai-nilai agama Islam. Namun dalam suatu komunitas sosial tidak semua individu dalam masyarakat memiliki akidah yang sama. Di dalam masyarakat selalu terdapat budaya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manusia. Perspektif budaya melahirkan nilai yang berdasarkan tradisi, dan kebiasaan tradisi terbangun berdasarkan pola-pola hubungan antara individu.
Allah SWT. menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk mengatur dan memakmurkan apa yang ada di bumi, itulah kelebihan manusia bila dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, yaitu Ia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk bila dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, adapun kelebihan manusia adalah Ia di berikan akal fikiran yang dipergunakan untuk membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, sekaligus dengan akal, manusia dapat menaklukkan apa yang ada di bumi . Kalau ditinjau dari segi ajaran agama, banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an maupun hadits yang menerangkan tentang manfaat akal manusia akan tetapi pendapat akal sangatlah terbatas ketimbang dengan wahyu, bukankah Allah SWT. memberikan manusia ilmu melainkan sedikit, walaupun demikian Allah SWT. menantang manusia lewat wahyu bagaimana supaya manusia memanfaatkan akalnya agar ia mampu untuk berinteraksi baik di langit maupun di bumi. Namun yang dikehendaki oleh Islam adalah penggunaan akal yang berbasis wahyu atau yang berdimensi Al-Qur’an dan sunnah Rasul berupa ijtihad .

B.      Rumusan Masalah
          Bardasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini meliputi :
1.  Apa yang termasuk dalam tingkah laku tercela ?
2.  Menyebutkan hadits tentang tingkah laku tercela !
3.  Apa keutamaan mempelajari hadits tentang tingkah laku tercela ?

C.      Tujuan Penulisan
          Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hadits dan diharapkan dapat menambah pengetahuan khusunya yang berkaitan dengan masalah hadits agar ukhuwah islamiyah antar sesama muslim tetap terjaga  serta dapat bermanfaat bagi kita semua.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tingkah Laku Tercelah

1.    Buruk Sangka
            Buruk sangka adalah menyangka seseorang berbuat kejelekan atau menganggap jelek tanpa adanya sebab yang jelas yang memperkuat sangkaannya. Orang yang melakukannya berarti telah berbuat dosa sebagaimana dinyatakan dalam sebuah Hadits Kitab Al-lulu Wal Marjan (اللؤلؤوالمرجان) ke 1660 :

إِيَّاكُمْ وَالظَّنِّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ:  حَدِيْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ ر.ض
تَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا أخرجه البخارى في: 78. كتاب الأدب

Artinya: “ Hadits Abu Hurairah r.a.: Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Berhati-hatilah kalian dari buruk sangka, sesungguhnya buruk sangka adalah sedusta-dustanya cerita / berita. Janganlah menyelidiki, janganlah memata-matai hal orang lain, janganla tawar-menawar untuk menjerumuskan orang lain, jangan saling menghasut, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian sebagai hamba Allah yang bersaudara “ ( Diriwayatkan oleh Imam Bukhari 78 Kitab Adab ).  Dan dinyatakan juga dalam Al - Qur’an surah Al -  Hujurat Ayat 12 :

يا أيها الذين أمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن ان بعض الظن اثم

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka ( kecurigaan ), karena sebagian dari prasangka itu dosa “.

A.   Dampak Negatif dari Sifat Buruk Sangka
            Diantara kerugian sifat buruk sangka yaitu :
a.       Mendapatkan ancaman dan siksaan di neraka Jahannam, laknat dan murka Allah.
b.      Mendapatkan kecelakaan dari allah di dunia dan di akhirat.
c.       Merasakan kesempitan, ketidaktenangan dalam kehidupan, karena senantiasa tidak puas dengan takdir Allah.
d.      dijauhi oleh orang lain karena akibat perbuatannya sendiri.
e.       Timbunya permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia.
f.       Terkadang akan menyeret kepada hal yang lebih buruk lagi yakni ghibah, namimah, dusta untuk tujuan menjatuhkan atau merugikan pihak lain.
g.      Putus hubungan, pemboikotan dan kebencian.
h.      Merupakan indikasi rusaknya niat dan buruknya kondisi batin.
i.        Merupakan salah satu perangai orang munafiq.
j.        Merupakan penyebab jatuh dalam akibat yang buruk dan membuka perbuatan keji.
k.      Mewariskan kehinaan dan kerendahan di hadapan Allah swt dan di hadapan manusia.
l.        Salah satu petunjuk akan lemahnya iman.

B.   Cara Menghindari Sifat Buruk Sangka
Berbagai cara dalam menghindari sifat buruk sangka diantaranya adalah :
a.       Selalu waspada dan hati-hati dalam setiap tindakan dan ucapan agar tidak timbul suatu masalah.
b.      Menumbuhkan rasa persamaan dan kasih sayang sesama manusia.
c.       Mengamalkan ajaran agama dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
d.      Membiasakan diri bersyukur kepada Allah swt dan merasa cukup atas segala pemberian Allah.
e.       Menjauhi seluruh penyebabnya, seperti mengikuti hawa nafsu, persaingan duniawi yang tidak bersih dan lain-lain.
f.       Berhati-hati dalam berbicara, bertindak dan dalam menerima kebenaran informasi.

C.    Kandungan Hadits
                    Kandungan hadits diatas, menjelaskan bahwa sebagai seorang muslim hendaknya selalu bersikap hati –hati dalam buruk sangka kerena, buruk sangka itu adalah sedusta – dustanya ucapan apalagi kalau buruk sangka tersebut terhadap masalah aqidah yang harus diyakini apa adanya. Buruk sangka dalam hal seperti ini hukumnya haram sebaliknya berburuk sangka terhadap masalah – masalah kehidupan agar memilii semangat untuk menyelidikinya adalah diperbolehkan. Nabi Muhammad saw bersabda :

وعن أبى هريرة رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث_ متفق عليه

“Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Berhati-hatilah kamu dalam berprasangka (dalam hal ini adalah prasangka buruk), karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya ucapan”. HR. Bukhari Muslim.
 Oleh karena itu hendaknya bagi umat islam untuk selalu membiasakan diri berprasangka baik terhadap orang lain demi kemaslahatan umat islam agar tetap harmonis.

2.    Ghibah dan Buhtan
                 Ghibah adalah menceritakan kejelekan yang apabila orang tersebut mendengarnya ia tidak suka meskipun hal itu benar. Sedangkan Buhtan menceritakan sesuatu yang tidak sebenarnya disebut sebagai kebohongan atau fitnah. Seseorang yang telah tergelincir lisannya dengan menceritakan kejelekan orang lain sesungguhnya telah berbuat dosa. Sedangkan kejelekan orang
yang diceritakannya akan berpindah kepadanya sementara kebaikannya akan berpindah ke orang lain. Sebagaimana di riwayatkan dalam sebuah Hadits Kitab Riyadlus Sholihin (رياضالصالحين) ke 1520 :          

 قَالَ أَتَدْرُوْنَ بِالْغِيْبَةِ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يُكْرَهُ، قِيْلَ م ص    وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ ر.ض. أَنَّ رَسُوْلَ الله
أَفَرَأَيْتَ اِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: اِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَهُ، (رواه مسلم)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Tahukah kalian apa ghibah itu? Para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi bersabda: yaitu menyebut saudaramu dengan apa yang tidak disukainya. Beliau ditanya: Bagaimana pendapat Anda kalau itu memang sebenarnya/apa adanya? Jawab Nabi: Kalau memang sebenarnya begitu itulah yang disebut ghibah. Akan tetapi jika menyebut apa-apa yang tidak sebenarnya berarti kamu telah menuduhnya dengan kebohongan. (HR. Muslim)
      
A.   Dampak Negatif dari Sifat Ghibah dan Buhtan
            Kerugian sifat ghibah dan buhtan antara lain :
a.       Mendapatkan ancaman dan murka Allah.
b.      Mendapatkan laknat dari Allah baik  di dunia maupun di akhirat.
c.       Akan melahirkan permusuhan dan kebencian di antara manusia.
d.      Merupakan penyebab jatuh dalam akibat yang buruk dan membuka perbuatan keji serta munkar.
e.       Mewariskan kehinaan dan kerendahan di hadapan Allah swt dan di hadapan manusia.
f.       Menjadikan orang lain tidak percaya.
g.      Dapat mengakibatkan berbagai macam tindakan kriminal yang dilatar belakangi oleh dendam.
h.      Retaknya ukhuwah islamiyah diantara sesama muslim.
i.        Kebencian terselubung yang dikhawatirkan akan bertambah menjadi bentuk bermusuhan yang nyata.
j.        Sifat hasad ( dengki ) yang menggerogoti hati seseorang sehingga ingin merenut kedudukan saudaranya dalam pandangan manusia.
k.      Adanya sifat fasad dan gairah dalam melakukan dosa dan kernunkaran.

B.   Cara Menghindari  Sifat Ghibah dan Buhtan
Berbagai cara yang dapat dilakukan seseorang untuk menghindari ghibah dan buhtan antara lain :
a.       Jangan mudah percaya terhadap berita yang kita dengar sebelum diteliti terlebih dahulu kebenarannya sehingga tidak menyesal bila berita itu membawa akibat buruk.
b.      Kita tinggalkan berita yang kita dengar bila tidak berkepentingan.
c.       Memperbanyak meneliti keburukan diri sediri.
d.      Membiasakan lidah berdzikir dan menanamkan pengertian bahwa menggunjing itu adalah dosa karena itu sangat dilarang oleh agama Islam.
e.       Meningkatkan ketaqwaan dengan mendekatkan diri kapada Allah, misalnya sering bertilawah dan berzikir agar hati menjadi lunak dan jiwa menjadi tenang.
f.       Berfikir sebelum memulai pembicaraan, agar yang keluar dari mulut adalah perkataan yang baik-baik saja, dan mengingat bahwa semua yang kita bicarakan dan kerjakan akan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid.
g.      Tabayun sebelum menyampaikan berita, supaya ukhuwah tetap terjaga dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
h.      Mengingatkan orang lain ketika ia menceritakan saudaranya, agar ia tidak terjatuh kedalam lembah yang bernama ghibah.

C.   Kandungan Hadits
            Hadits diatas, menjelaskan bahwa ghibah adalah menceritakan kejelekan orang yang apabila orang tersebut mendengarnya ia tidak akan suka meskipun hal itu benar, sedangkan buhtan adalah menceritakan sesuatu yang tidak sebenarnya terjadi dan merupakan suatu kebonhongan belaka.  Ghibah dan buhtan merupakan perbuatan yang dilarang dalam islam dan pelakunya akan di azab oleh Allah swt selain itu, ghubah juga dapat memicu permusuhan dan pertengkaran diantara sesama muslim orang yang melakukannya bagaikan memakan daging bangkai saudaranya. Oleh karena itu hendaklah bagi umat islam untuk menjaga perkataanya agar tidak tergelincir untuk menceritakan kejelekan orang lain sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan ghibah. Seseorang yang telah tergelincir lisannya dengan menceritakan kejelekan orang lain sesungguhnya ia telah berbuat dosa. Selain itu, apabila orang yang diceritakan tersebut mendengar bahwa kejelekannya diceritakan tentu ia akan marah dan akan menimbulkan permusuhan. Oleh karena itu, setiap orang islam harus berusaha untuk tidak menceritakan kejelekan orang lain atau lebih baik diam itu akan menyelamatkannya di dunia dan di akhirat.
Sebenarnya tidak semua ghibah dilarang. Ada ghibah yang diperbolehkan, antara lain:
1.      Mengadukan orang yang menganiaya kepada wali hakim.
2.      Meminta orang yang dianggap sanggup menasehatinya agar menasehati orang yang berbuat mungkar.
3.      Menasehati agar orang lain jangan tertipu oleh orang yang jahat tersebut, dan sebagainya.
Adapun cara bertaubat bagi orang yang melakukan buhtan adalah sebagai berikut :
1.      Menarik kembali kabar bohong yang dia sampaikan dahulu.
2.      Meminta maaf atau meminta untuk dihalalkan kepada yang di fitnah.
3.      Meminta ampun kepada Allah atas perbuatan buhtan, karena buhtan termasuk dosa yang sejajar dengan menyembah berhala. Sebagaimana firman Allah swt:

فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور (الحاج

Artinya: “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu, dan jauhilah perkataan dusta” (Q. S. Al - Hajj : 30).

Ayat-ayat Tentang Perbuatan Baik dan Buruk
Adapun lafadz al-hasanah dan as-sayyiah dalam Al-Qur’an memiliki berberapa makna, seperti yang di jelaskan dalam QS. Ali-Imron :120,

إن تمسسكم حسنة تسؤهم وإن تصبكم سيئةٌ يَفْرَحوا بها وإن تصبروا وتتقوا لا يضرّكم كيد هم شيئا إنّ الله بما يعملون 
Artinya:
” Jika kamu memperoleh kebaikan , (niscaya) mereka bersedih hati, tetapi jika kamu tertimpa bencana , mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, tipu daya mereka tidak akan menyusahkan kamu sedikitpun. Sungguh, Allah maha meliputi segala apa yang mereka kerjakan.”
QS. At-Taubah:50,
إن تصبك حسنة تسؤهم وإن تصبك مصيبة يقولوا قد أخذ نا أمرنا من قبل ويتولّوا وّهم فرحون
Artinya:
 Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang ; tetapi jika engkau ditimpa bencana , mereka berkata ,”Sungguh sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang),” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira.”
QS. Al-A’raf:164
وإذ قا لت أمّة  منهم لم تعظو ن قوما الله مهلكهم أو معذّ بهم عذابا شديدا قالوا معذرة إلى ربّكم ولعلهم يتّقون
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata, “mengapa kamu menasehati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?” Mereka menjawab, “ Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada tuhanmu[1][4], dan agar mereka bertaqwa.”
QS. Asy-Syura:48.
فإن أعرضوا فما أرسلناك عليهم حفيظا إن عليك إلاّ البلاغ وإناّ إذا أذ قنا الإنسان مناّ رحمة فرح بها وإن تصبهم سيئة بما قدّمت أيديهم  فإنّ الإنسان كفور
Artinya:
“ jika mereka berpaling, maka (ingatlah) kami tidak mengutus engkau sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Dan sungguh , apabila kami merasakan kepada manusia suatu rahmat dari kami , dia menyambutnya dengan gembira; tetapi jika meraka ditimpa kesusahan karena perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar), sungguh, manusia itu sangat ingkar (kepada nikmat).”

يأ يها الّذين اَمنوا لاتبطلوا صدقتكم بلمنّ والأذى, كا لذيْ ينفقُ ما له رئاءالناس ولا يؤمن بالله واليوم الأخر, فمثله كمثل صفوان عليه تراب فأصا به وا بلٌ فتركه صلدًا, لا يقدرون على شيئ مما كسبوا, والله لا يهدى القوم الكا فرين. و مثل الّذين  ينفقون أموالهم ابتغاء مرضات الله وتثبيتا مّن انفسهم كمثل جنّة بربوةٍ اصا بها وابل فأّتتْ اكلها ضعفين. فإن لم يصبها وا بل فطلٌ, واللهُ بما يعملون بصيرٌ.
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak  pahala sedekahmu, dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ (pamer) kepada manusia , sedang dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaannya (orang itu) dengan sebuah batu yang licin, di atasnya ada debu. Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi.merekavtidak memperoleh sesuatu apapun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak  memberi  petunjuk kepada orang-orang yang kafir. Dan Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari ridha allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggin yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 264-265).

BAB III
PENUTUP

            Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan makalah ini, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

A.      KESIMPULAN
            Dari berbagai hadits yang telah kami kemukakan, maka kami dapat menyimpulkan bahwasannya ajaran Islam  mengajarkan kepada kita untuk tidak berburuk sangka dan menggunjing, memfitnah orang lain serta larangan berbuat boros. Hendaklah kita berprasangka yang baik terhadap orang lain dan pergunakanlah harta yang kita miliki dengan sebaik – baiknya agar kita dapat hidup dengan tentram dan mendapat ridha dari Allah swt sejak di dunia sampai kelak di akhirat.

B.   SARAN – SARAN
            Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman berkenan kiranya memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis. Hal itu akan menjadikan pertimbangan dalam perbaikan makalah in di kesempatan – kesempatan berikutnya. Terima kasih.