haryanti

haryanti

Senin, 24 November 2014

Suhrawardi dan Ajarannya



BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Beakang 
Berbicara tentang tasawuf dan para sufi, tentunya tidak lengkap tanpa membahas sufi yang satu ini, yaitu Shihabuddin Suhrawardi, yang terkenal dengan pemikirannya tentang hikmah isyraqiyah.
Dalam bidang filsafat Islam sering disebut dengan teori iluminasi (pancaran). Suhrawardi berusaha mensintesiskan pendekatan burhani dan irfani dalam pemikiranya yang kemudian melahirkan tasawuf falsafi atau teosofi. Dasar dari teori ini adalah bahwa Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari cahaya Allah itulah muncul cahaya-cahaya yang lain, berupa alam yang maddi, alam ruhi dan akal-akal yang kemudian terbagi-bagi semuanya itu tidak lain, hanyalah kesatuan dari cahaya-cahaya yang menggerakkan alam semesta ini. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam konsep yang telah mempengaruhi para tokohnya.
           Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini terus  hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai era modern. Corak tasawuf falsafi tentunya berbeda dengan tasawuf yang pernah diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in, karena tasawuf ini, banyak di pengaruhi oleh ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani, Hindu, Budha. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf  tidak hilang. Karena para tokohnya mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan Islam yang mempuni. Ajaran pokok tasawuf falsafi meluputi: fana’ dan baqa’, ittihad (menyatunya manusia dengan Tuhan), hulul (menyatunya sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan), wahdatul wujud (Allah dan Alam adalah sesuatu yang satu), Isyraq (pancaran cahaya Tuhan atau iluminasi).

BAB II
PEMBAHASAN
SUHRAWARDI AL-MAQTUL
A.    Riwayat Hidup Suhrawardi al-Maqtul
Syihabuddin as-Suhrawardi dilahirkan di Suhraward, Iran, tahun 549 H/1155 M dan wafat di Aleppo, Suriah, pada tahun 587 H/1191 M. suhrawardi sering disebut sebagai tokoh sufi dari kalangan Syiah yang diberi gelar Syaikh al-Isyraq (Guru Pencerahan) karena pendapatnya tentang filsafat Isyraqiyah.
Gelar al-Maqtul (yang terbunuh) diperolehnya karena pada saat itu Suhrawardi bersama Qaramithah dan Hasyasyin secara politik dituduh telah merongrong kekuasaan Sultan Shalahuddin al-Ayubi. Ketika itu sultan adalah penganut dan pembela paham sunni di seluruh wilayah kekuasaannya. Akhirnya atas desakan para Fuqaha, Suhrawardi dipenjara di Aleppo dan dijatuhi hukuman mati.[1]
B.     Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Suhrawardi
Melihat pada tahun hidupnya, peradaban islam pada masa Suhrawardi berada pada fase kematangan. Kondisi ini merupakan akumulasi dari sejarah panjang peradaban islam. Diawali dengan penerjemahan berbagai karya ilmiahklasik ke dalam bahasa Arab peradaban islam terus berkembang. Kegiatan penerjemahan ini pada gilirannya mendorong lahirnya para intelektual Muslim dengan berbagai karya monumental mereka sebagai indicator yang paling real bagi masa keemasan islam mulai pada abad X hingga mencapai puncaknya pada abad XII.
Secara garis besar, wacana pemikiran islam pada masa ini pemiliki tiga alur utama, pertama, falsafi yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd. Kedua, mistis (tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, dan al-Gazali di antara pionir-pionirnya. Ketiga, gabungan dari dua aliran itu melahirkan aliran yang disebut dengan teosofi. Corak pemikiran teosofi ini selain bertumpu pada rasio, ia juga bertumpu pada rasa (dhawq) yang mengandung nilai mistis. Berdasarkan pembagian ini, agaknya pada aliran ketiga inilah Suhrawardi mengembangkan pemikiran-pemikirannya.
Sebagai orang yang mencoba menggabungkan dua aliran pemikiran yang sudah berkembang, pemikiran Suhrawardi tentu tidak terlepas dari pengaruh kedua aliran pemikiran itu. Dalam bidang filsafat, Suhrawardi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Zoroasterianosme, filsafat Yunani khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus, serta al-Farabi dan Ibn Sina dari kalangan filosof islam. Di samping itu, sebagai seorang sufi, Suhrawardi juga banyak terpengaruh oleh pemikiran pendahuluannya seperti Dhu al-Nun al-Misri , Abu Yazid al-Bustami, dan al-Gazali. Pemikiran Suhrawardi tumbuh dan berkembang sebagai wujud ketidakpuasannya terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.
C.     Karya-Karya Suhrawardi
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehinggah dalam usianya yang relative pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni. Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein Nars mengklasifikasikannya menjadi lima kategori sebagai berikut.
a.       Member interpretasi dan memodifikasikembali ajaran peripatetic. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab: At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat dan Hikmah al-;Ishraq.
b.      Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami: al-Lamahat, Hayakilal-Nur dan risalah fi al-‘Ishraq.
c.       Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambing yang sulit dipahami: Qissah al-Ghurbah al-Gharbiyyah, Al-‘Aql al-ahmar dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d.      Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik: Risalah al-Tair dan Risalahfial;’Ishq.
e.       Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H.[2] oleh karena itu, tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
D.    Pemikiran Teosofi Suhrawardi
Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shopia yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan. Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada trem lain yang mirip dengan teosifi, ysitu teologi. Kedua istilah ini mengacuh pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaan terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan pendekatan spekulatif intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta dan Tuhan.
Sementara teosofi lebih menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos. Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyah dan hikmah ‘amaliyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyah ialah tasawuf.[3]
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoretis melalui filsafat dengan penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.
E.     Konsep Teosofi Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah ishraqi sendiri sebagai symbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersama dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahaya kemasing-masing cahaya yang berada dibawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Memerhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam surat Al-Nur ayat 35 berikut ini: Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan binatang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh apa cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membingbing, walaupun tidak disentuh api cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.[4]
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancarkan dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.
F.      Ajaran Tarekat Suhrawardiyah
Sebagaimana ditegaskan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah terdapat pada kitab Awarif al-Ma’arif yang banyak membicarakan tentang latihan rohani praktis. Maka dapat dirangkum bahwa ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
1.      Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan memahami bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami wujud Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam pengabdian dan sujud dihadapan Allah.
Ma’rifah ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu :
a.       Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah);
b.       Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah;
c.       Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah;
d.      Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
2.      Faqr, yaitu tidak memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jika ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an. Seseorang yang menginginkan dunia, meski tak memiliki harta, makna Faqr hanyalah sekedar angan-angan belaka.
Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah.[5]
Dalam hal ini ada beberapa golongan Faqr, yaitu :
a.       Mereka yang memandang dunia dan harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta, mereka akan memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti;
b.      Mereka yang tidak memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber dari dirinya dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun;
c.       Mereka yang dengan kedua sifat ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka pandang sebagai anugeral Allah;
d.      Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
3.      Tawakkul, yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah), mempercayakan jaminan rezki kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah raja’ (harapan), sebab yang pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari kebenaran keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tawakkul ini terbagi kepada dua, pertama Tawakkul al-inayah, artinya tawakal dalam anugerah Allah, keduatawakkul al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan dan kehendak Allah, bukan tawakal dalam kecukupan.
4.      Mahabbah, artinya Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Ada dua jenis mahabbah :
1). Mahabbah ‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat:
a.       kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat;
b.      Sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan;
c.       Seberkas cahaya yang mengisi wujud;
d.      Sebuah tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang”;
e.       Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu;
f.       Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat.
2). Mahabbah Khas, memiliki sifat :
a.       Kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan zat;
b.      Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat;
c.       Api yang memurnikan wujud;
d.      Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”;
e.       Benar-benar sumber murni;
f.       Sejenis anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
5.      Fana’ dan Baqa’, Fana’ artinya akhir daei perjalanan menuju Allah, sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalan menuju Allah berakhir ketika dengan ketulusan. Perjalanan di dalam Allah bisa diuji ketika, sesudah fana’ mutlak.
Ada yang mengatakan fana’ berarti :
a.       Fana’ dalam berbagai perbedaan;
b.      Menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi;
c.       Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti;
d.      Menurunnya kadar sifat-sifat tercela;
e.       Tersembunyinya segala sesuatu.
Sementara Baqa’ berarti :
1)      Baqa’ dalam keselarasan;
2)      Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak;
3)      Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah;
4)      Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji;
5)      Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari serangkaian pembahasan yang tertuang dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa Suhrawardi merupakan filosof muda Islam yang sangat cerdas sehingga mampu membongkar pemikiran-pemikiran filosof peripatetik yang sudah mapan sebelumnya, sekaligus menawarkan sebuah pemikiran baru yang bercorak filosofis-mistis yang kemudian lebih popular dengan sebutan teosofi. Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang lahir sebagai akibat dari ketidak puasannya kepada pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya. Pemikiran teosofisnya ini kemudian berujung kepada pembangunan sebuah teori yang membahas proses penciptaan alam yang dikenal dengan teori iluminasi.
Meskipun mekanisme kerja teori ini dibangun dengan cara yang sama dengan teori sebelumnya (emanasi), yakni melalui pancaran atau limpahan, tetapi tetap ada hal mendasar yang membedakan kedua teori ini. Hal tersebut dapat terlihat pada instrumen yang digunakan dan keberlangsungan proses pancaran dari kedua teori tersebut. Teori emanasi menggunakal istilah akal sebagai instrument, sementara iluminasi menggunakan istilah cahaya, yang inspirasinya diambil dari Q.S. al-Nur ayat 35. Pada teori emanasi pancaran akal 1 hanya sampai pada pancaran akal ke -10, maka pada teori iluminasi pancarahan cahaya tidak terbatas. pemikiran falsafah Suhrawardi adalah pancaran cahaya (iluminasi, isyraqi). Alam semesta ini merupakan pancaran dari Cahaya Yang Utama (Tuhan), hanya saja setiap yang tercipta dapat dibedakan dari intensitas cahaya yang mereka terima. Semakin dekat sesuatu dengan cahaya yang menciptanya, maka semakin sempurnalah sesuatu itu, dan hal itu hanya dapat dipertemukan dengan cara dzauq yang hanya dipahami oleh orang-orang yang telah mengerti tasawuf.




[1] Ahmad Bangun Nasution dan rayani Hanum Siregar, akhlak tasawuf (pengenalan, pemahaman, dan pengaplikasiannya disertai biografi dan tokoh-tokoh sufi), Jakarta: rajawali pers, 2013, hlm. 226.
[2] Ahmad bangun nasution dan rayani harum siregar, hlm. 227.
[3] Ahmad bangun nasution dan rayani harun siregar, hlm. 228
[4] Ahman bangun nasution dan rayani hanum siregar, hlm. 231
[5] http://menuliscom.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar