BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Beakang
Berbicara tentang
tasawuf dan para sufi, tentunya tidak lengkap tanpa membahas sufi yang satu
ini, yaitu Shihabuddin Suhrawardi, yang terkenal dengan pemikirannya tentang
hikmah isyraqiyah.
Dalam bidang filsafat
Islam sering disebut dengan teori iluminasi (pancaran). Suhrawardi berusaha
mensintesiskan pendekatan burhani dan irfani dalam pemikiranya yang kemudian
melahirkan tasawuf falsafi atau teosofi. Dasar dari
teori ini adalah bahwa Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari
segala yang ada. Dari cahaya Allah itulah muncul cahaya-cahaya yang lain,
berupa alam yang maddi, alam ruhi dan akal-akal yang kemudian terbagi-bagi
semuanya itu tidak lain, hanyalah kesatuan dari cahaya-cahaya yang menggerakkan
alam semesta ini. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf falsafi menggunakan
terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut
berasal dari bermacam-macam konsep yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah
islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini terus
hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof,
sampai era modern. Corak tasawuf falsafi tentunya berbeda dengan tasawuf
yang pernah diamalkan oleh para sahabat dan tabi’in, karena tasawuf ini, banyak
di pengaruhi oleh ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India,
dan agama Nasrani, Hindu, Budha. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai
tasawuf tidak hilang. Karena para tokohnya mempunyai latar belakang
kebudayaan dan pengetahuan Islam yang mempuni. Ajaran pokok tasawuf falsafi meluputi:
fana’ dan baqa’, ittihad (menyatunya manusia dengan Tuhan), hulul (menyatunya
sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan), wahdatul wujud (Allah dan Alam
adalah sesuatu yang satu), Isyraq (pancaran cahaya Tuhan atau iluminasi).
BAB II
PEMBAHASAN
SUHRAWARDI
AL-MAQTUL
A. Riwayat
Hidup Suhrawardi al-Maqtul
Syihabuddin
as-Suhrawardi dilahirkan di Suhraward, Iran, tahun 549 H/1155 M dan wafat di
Aleppo, Suriah, pada tahun 587 H/1191 M. suhrawardi sering disebut sebagai
tokoh sufi dari kalangan Syiah yang diberi gelar Syaikh al-Isyraq (Guru
Pencerahan) karena pendapatnya tentang filsafat Isyraqiyah.
Gelar
al-Maqtul (yang terbunuh) diperolehnya karena pada saat itu Suhrawardi bersama
Qaramithah dan Hasyasyin secara politik dituduh telah merongrong kekuasaan
Sultan Shalahuddin al-Ayubi. Ketika itu sultan adalah penganut dan pembela paham
sunni di seluruh wilayah kekuasaannya. Akhirnya atas desakan para Fuqaha,
Suhrawardi dipenjara di Aleppo dan dijatuhi hukuman mati.[1]
B. Kondisi
Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Suhrawardi
Melihat
pada tahun hidupnya, peradaban islam pada masa Suhrawardi berada pada fase
kematangan. Kondisi ini merupakan akumulasi dari sejarah panjang peradaban
islam. Diawali dengan penerjemahan berbagai karya ilmiahklasik ke dalam bahasa
Arab peradaban islam terus berkembang. Kegiatan penerjemahan ini pada
gilirannya mendorong lahirnya para intelektual Muslim dengan berbagai karya
monumental mereka sebagai indicator yang paling real bagi masa keemasan islam
mulai pada abad X hingga mencapai puncaknya pada abad XII.
Secara
garis besar, wacana pemikiran islam pada masa ini pemiliki tiga alur utama, pertama,
falsafi yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
dan Ibn Rushd. Kedua, mistis (tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid
al-Bustami, dan al-Gazali di antara pionir-pionirnya. Ketiga, gabungan dari dua
aliran itu melahirkan aliran yang disebut dengan teosofi. Corak pemikiran
teosofi ini selain bertumpu pada rasio, ia juga bertumpu pada rasa (dhawq) yang
mengandung nilai mistis. Berdasarkan pembagian ini, agaknya pada aliran ketiga
inilah Suhrawardi mengembangkan pemikiran-pemikirannya.
Sebagai
orang yang mencoba menggabungkan dua aliran pemikiran yang sudah berkembang,
pemikiran Suhrawardi tentu tidak terlepas dari pengaruh kedua aliran pemikiran
itu. Dalam bidang filsafat, Suhrawardi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
Zoroasterianosme, filsafat Yunani khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus,
serta al-Farabi dan Ibn Sina dari kalangan filosof islam. Di samping itu,
sebagai seorang sufi, Suhrawardi juga banyak terpengaruh oleh pemikiran
pendahuluannya seperti Dhu al-Nun al-Misri , Abu Yazid al-Bustami, dan
al-Gazali. Pemikiran Suhrawardi tumbuh dan berkembang sebagai wujud
ketidakpuasannya terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.
C. Karya-Karya
Suhrawardi
Suhrawardi
adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam
jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehinggah dalam usianya yang
relative pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan
kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni. Dalam
konteks karya-karyanya ini, Hossein Nars mengklasifikasikannya menjadi lima
kategori sebagai berikut.
a. Member
interpretasi dan memodifikasikembali ajaran peripatetic. Termasuk dalam
kelompok ini antara lain kitab: At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat
dan Hikmah al-;Ishraq.
b. Membahas
tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami:
al-Lamahat, Hayakilal-Nur dan risalah fi al-‘Ishraq.
c. Karya
yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambing yang sulit dipahami: Qissah
al-Ghurbah al-Gharbiyyah, Al-‘Aql al-ahmar dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d. Karya
yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik: Risalah al-Tair dan
Risalahfial;’Ishq.
e. Karya
yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya
karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama
terdahulu, filsafat kuno dan filsafat islam. Ia juga memahami dan menghayati
doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H.[2]
oleh karena itu, tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar
serta memunculkan sebuah corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
D. Pemikiran
Teosofi Suhrawardi
Pengertian
Teosofi
Secara
etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia, gabungan dari kata theos
yang berarti Tuhan dan shopia yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom.
Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau keahlian dalam
masalah-masalah ketuhanan. Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada trem lain
yang mirip dengan teosifi, ysitu teologi. Kedua istilah ini mengacuh pada
pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaan terletak pada
operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan
pendekatan spekulatif intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara
manusia, alam semesta dan Tuhan.
Sementara
teosofi lebih menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri
ketuhanan yang paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut
teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos. Dalam pemahaman
Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah
orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyah dan hikmah
‘amaliyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyah ialah filsafat
sementara hikmah ‘amaliyah ialah tasawuf.[3]
Dari
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah pemahaman tentang
misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran filosofis-sufistis
sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu mengawinkan latihan
intelektual teoretis melalui filsafat dengan penyucian jiwa melalui tasawuf
dalam mencapai pemahaman tersebut.
E. Konsep
Teosofi Suhrawardi
Pemikiran
teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyah) yang
lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah ishraqi sendiri
sebagai symbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya.
Selanjutnya
Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah
cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Proses
iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur-Anwar yang merupakan sumber dari segala
cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun
yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah
cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang
muncul bersama dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama)
muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga
timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya
kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang
jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima
pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan
cahaya kemasing-masing cahaya yang berada dibawahnya, sehingga setiap cahaya
yang berada di bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima
pancaran.
Memerhatikan
pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah
firman Allah dalam surat Al-Nur ayat 35 berikut ini: Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita
besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan binatang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hamper-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh apa cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membingbing, walaupun tidak disentuh api cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki,
dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.[4]
Dalam
konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan
penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan
cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab
sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya
cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang
kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancarkan dan menghasilkan
cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya
lahir.
Berdasarkan
pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling
tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.
F. Ajaran
Tarekat Suhrawardiyah
Sebagaimana
ditegaskan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual
Tarekat Suhrawardiyah terdapat pada kitab Awarif al-Ma’arif yang banyak membicarakan
tentang latihan rohani praktis. Maka dapat dirangkum bahwa ajaran dan ritual
Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
1. Ma’rifah,
yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan
memahami bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami
wujud Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh
kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian
meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam
pengabdian dan sujud dihadapan Allah.
Ma’rifah ini
terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu :
a. Setiap
akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah);
b. Setiap
akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki
Allah;
c. Dalam
keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah;
d. Sifat
Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
2. Faqr,
yaitu tidak memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke
tujuan, kecuali jika ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an. Seseorang yang
menginginkan dunia, meski tak memiliki harta, makna Faqr hanyalah sekedar
angan-angan belaka.
Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah.[5]
Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah.[5]
Dalam hal ini
ada beberapa golongan Faqr, yaitu :
a. Mereka
yang memandang dunia dan harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta,
mereka akan memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya
dalam kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti;
b. Mereka
yang tidak memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber
dari dirinya dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun;
c. Mereka
yang dengan kedua sifat ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka
pandang sebagai anugeral Allah;
d. Mereka
yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka.
Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta
tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
3. Tawakkul,
yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah), mempercayakan
jaminan rezki kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah raja’ (harapan), sebab
yang pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari kebenaran
keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tawakkul ini terbagi kepada
dua, pertama Tawakkul al-inayah, artinya tawakal dalam anugerah Allah,
keduatawakkul al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan dan kehendak Allah,
bukan tawakal dalam kecukupan.
4. Mahabbah,
artinya Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal,
seperti taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan
hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Ada dua jenis
mahabbah :
1). Mahabbah
‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat:
a. kecenderungan
hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat;
b. Sebuah
bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan;
c. Seberkas
cahaya yang mengisi wujud;
d. Sebuah
tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal
pada apa yang sangat gamblang”;
e. Anggur
terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu;
f. Sejenis
anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat.
2). Mahabbah
Khas, memiliki sifat :
a. Kecenderungan
jiwa untuk menyaksikan keindahan zat;
b. Bagaikan
matahari, yang terbit dari horizon zat;
c. Api
yang memurnikan wujud;
d. Sebuah
tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”;
e. Benar-benar
sumber murni;
f. Sejenis
anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan
dalam kekeringan.
5. Fana’
dan Baqa’, Fana’ artinya akhir daei perjalanan menuju Allah, sementara Baqa’
artinya awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalan menuju Allah berakhir ketika
dengan ketulusan. Perjalanan di dalam Allah bisa diuji ketika, sesudah fana’
mutlak.
Ada yang mengatakan
fana’ berarti :
a. Fana’
dalam berbagai perbedaan;
b. Menurunnya
keinginan akan segala kesenangan duniawi;
c. Menurunnya
keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti;
d. Menurunnya
kadar sifat-sifat tercela;
e. Tersembunyinya
segala sesuatu.
Sementara
Baqa’ berarti :
1) Baqa’
dalam keselarasan;
2) Baqa’
dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak;
3) Baqa’
dalam kesenangan di dalam Allah;
4) Baqa’
dalam sifat-sifat terpuji;
5) Kehadiran
Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam
bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana
bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari serangkaian pembahasan yang tertuang dalam makalah
ini, dapat disimpulkan bahwa Suhrawardi merupakan filosof muda Islam yang
sangat cerdas sehingga mampu membongkar pemikiran-pemikiran filosof peripatetik
yang sudah mapan sebelumnya, sekaligus menawarkan sebuah pemikiran baru yang
bercorak filosofis-mistis yang kemudian lebih popular dengan sebutan teosofi.
Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang lahir
sebagai akibat dari ketidak puasannya kepada pemikiran-pemikiran filosof
sebelumnya. Pemikiran
teosofisnya ini kemudian berujung kepada pembangunan sebuah teori yang membahas
proses penciptaan alam yang dikenal dengan teori iluminasi.
Meskipun mekanisme kerja teori ini dibangun dengan cara
yang sama dengan teori sebelumnya (emanasi), yakni melalui pancaran atau
limpahan, tetapi tetap ada hal mendasar yang membedakan kedua teori ini. Hal tersebut dapat terlihat pada
instrumen yang digunakan dan keberlangsungan proses pancaran dari kedua teori
tersebut. Teori emanasi menggunakal istilah akal sebagai instrument, sementara
iluminasi menggunakan istilah cahaya, yang inspirasinya diambil dari Q.S.
al-Nur ayat 35. Pada teori emanasi pancaran akal 1 hanya sampai pada pancaran
akal ke -10, maka pada teori iluminasi pancarahan cahaya tidak terbatas.
pemikiran falsafah Suhrawardi adalah pancaran cahaya (iluminasi, isyraqi).
Alam semesta ini merupakan pancaran dari Cahaya Yang Utama (Tuhan), hanya saja
setiap yang tercipta dapat dibedakan dari intensitas cahaya yang mereka terima.
Semakin dekat sesuatu dengan cahaya yang menciptanya, maka semakin sempurnalah
sesuatu itu, dan hal itu hanya dapat dipertemukan dengan cara dzauq yang
hanya dipahami oleh orang-orang yang telah mengerti tasawuf.
[1]
Ahmad Bangun Nasution dan rayani Hanum Siregar, akhlak tasawuf (pengenalan,
pemahaman, dan pengaplikasiannya disertai biografi dan tokoh-tokoh sufi),
Jakarta: rajawali pers, 2013, hlm. 226.
[2] Ahmad
bangun nasution dan rayani harum siregar, hlm. 227.
[3]
Ahmad bangun nasution dan rayani harun siregar, hlm. 228
[4]
Ahman bangun nasution dan rayani hanum siregar, hlm. 231
[5] http://menuliscom.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar